Tahun 2005 adalah tahun yang sulit bagi saya. Setelah lulus SMA pada 2004, saya sempat bekerja di pabrik dan bekerja di suplier alat tulis kantor. Saya masih ingat mulai bekerja di Apotek Kimia Farma pada hari Selasa tanggal 5 Juli 2005. Setelah sebelumnya mengikuti tes seleksi penerimaan pegawai disana. Setelah saya keluar dari perusahaan suplier alat tulis saya menganggur hanya satu bulan. Selama satu bulan tersebut saya mengikuti tes seleksi yang diadakan bertahap setiap akhir pekan dengan sistem gugur di PT Kimia Farma Apotek. Informasi lowongan pekerjaan saya dapat di harian Jawa Pos. Di kolom iklan baris yang kecil-kecil. Membacanya harus teliti. Sebenarnya saya tidak tahu itu posisi apa. Yang tertulis di iklan adalah juru resep apotek. Saya langsung membawa surat lamaran ke alamat yang diminta. Jl Raya Darmo No 2-4 Surabaya. Naik ke lantai dua menemui Bu Titiek. Orangnya sudah sepuh, tapi baik sekali. Seminggu kemudian baru dipanggil untuk mengikuti tes yang pertama. Dibagi dua gelombang, saya ikut gelombang yang pertama jam 7 pagi. Satu ruangan ada sekitar 40 orang, jadi total peserta ada 80 orang untuk dua gelombang. Tes pertama kemampuan bahasa Inggris, matematika, kimia dasar, dan pengetahuan farmasi umum. Latar belakang pendidikan saya SMA jurusan IPA sangat membantu. Untuk tahap pertama yang lolos sekitar 16 orang. Selanjutnya tahap interview dengan tiga orang sekaligus. Tiga orang ini adalah apoteker PT Kimia Farma Apotek. Salah satunya adalah Ibu teman saya waktu SMA dulu, Rizal. Kamu kenal sama Rizal, spontan saja saya jawab tidak kenal. Lah wong tiap hari Rizal dipanggil dengan sebutan Pak Soleh. Jadi tidak ngeh. Padahal saya juga pernah diajak Rizal ke apotek yang dipimpin Ibunya itu. Dari rumah baru sadar kalau Pak Soleh itu nama aslinya Rizal. Interview berjalan lancar, sempat dipuji nilai tes bahasa Inggris saya bagus. Untung saja. Lolos tahap berikutnya adalah psikotes. Tempatnya di Bina Grahita daerah Krembangan Barat. Dari delapan orang yang lolos, hanya empat orang yang lolos ke tahap berikutnya, yaitu interview lagi. Kali ini dengan Bisnis Manager wilayah Surabaya dan sekitarnya. Bu Juleti, beliau seorang pimpinan yang berkharisma. Yang saya salut dari beliau adalah selalu hafal nama karyawan, mulai dari yang rendahan sampai yang berjabatan. Tiap saya sapa, selalu beliau menjawab disertai menyebut nama saya, walaupun saya karyawan rendahan. Empat orang diterima bekerja. Tetapi harus tes bebas narkoba dan zat aditif dulu di RS Polda Jatim. Disana cuma dites urin saja. Satu jam kemudian sudah keluar surat bebas narkoba. Harus bayar tujuh puluh lima ribu.
Saya ditempatkan di Apotek Kimia Farma Rungkut Madya Surabaya. Pertama kali saya bingung. Ini yang dikerjakan apa saja. Posisi juru resep di apotek ternyata seperti pesuruh. Office Boy kalau istilah di perkantoran. Hanya saja kita dibekali dengan kemampuan farmasi umum. Harus banyak belajar. Bagaimanapun saya harus cepat menyesuaikan diri. Hasan Alwi adalah pimpinan apotek saya. Beliau menganjurkan agar saya cepat belajar. Brosur-brosur obat saya kumpulkan dan saya bawa pulang. Saya baca waktu di rumah. Kerja disini sistem shift dengan hari libur sekali seminggu pada hari kerja. Banyak sekali yang saya kerjakan disini. Kebanyakan pekerjaan kasar, seperti menyapu, mengepel, membersihkan kaca depan, membersihkan gondola. Mengantarkan obat ke rumah pasien. Menyiapkan obat, meracik obat. Membereskan gudang, ikat kardus, ikat koran bekas. Membetulkan saklar lampu yang mati. Membersihkan alat-alat farmasi. Sampai menyiapkan makan pimpinan apotek. Tukar uang receh, setor uang ke Bank. Memberesi WC yang mampet. Semua membuat lelah. Tetapi saya terus bersemangat demi keinginan saya untuk tetap melanjutkan pendidikan tinggi dengan biaya sendiri. Brosur sudah habis saya bawa pulang. Ganti buku-buku farmasi mulai yang tipis sampai yang tebal-tebal. Saya pelajari pelan-pelan. Ternyata ada juga buku cara membaca tulisan cakar ayam dari resep dokter. Dalam buku ini juga dijelaskan cara mengartikan kode-kode bahasa latin yang digunakan dalam penulisan resep dokter. Misalnya "mf pulv da in caps" yang artinya obat digerus dulu sampai menjadi pulvis atau puyer dan selanjutnya dimasukkan ke dalam kapsul. Untuk masalah penulisan obat, kita akan tahu sendiri sejalan dengan banyaknya interaksi kita dengan nama-nama obat. Misalnya Amoxillin 500mg, tidak jarang tulisan dokter yang dapat dibaca adalah "amox" nya saja, tulisan "illin" nya dalam bentuk gelombang dengan dua titik diatasnya. Pernah atau sering bahkan tulisan dokter tidak terbaca sama sekali. Jika sudah begini senjata utama adalah menghubungi dokternya via telepon. Dokter yang baik pasti menjelaskan apa yang dimaksud dalam tulisannya tersebut. Ada juga yang malah marah-marah, tersinggung karena tulisannya jelek. Kenapa, memang tulisan saya kurang jelas, kamu tidak bisa baca apa. Begitulah, ya namanya juga dokter. Seolah dirinya dewa penyembuh. Dalam kasus tersebut hanya sedikit sekali dokter yang begitu. Dua bulan, tiga bulan, enam bulan, sepuluh bulan, setahun. Saya mulai menikmati pekerjaan ini, masih dengan pekerjaan kasarnya. Saya tidak peduli walaupun saya dilihat orang seperti cleaning service. Tiap hari menyapu, mengepel, membersihkan kaca-kaca etalase. Saya mulai mahir membaca resep. Mulai mengerti komposisi, dosis, dan efek samping. Sudah bisa meracik obat sendiri sesuai resep dokter. Apotek Kimia Farma tempat saya bekerja termasuk apotek grade kecil, sehingga semua karyawannya dituntut untuk bisa menguasai operasional dan pengetahuan farmasi. Walaupun itu bukan termasuk jobdesk saya. Ada asisten apoteker yang memang lulusan Sekolah Menengah Farmasi. Tetapi saya menganggap semua itu adalah keuntungan bagi saya. Dari yang tidak tahu apa-apa tentang kefarmasian hingga mendapatkan ilmunya. Walaupun tidak mendalam. Setidaknya saya bisa menjaga diri saya sendiri. Saya juga kadang ikut melayani pembelian resep dari pasien jika teman-teman asisten apoteker merasa kewalahan. Teliti dan hati-hati itu yang paling penting. Ini menyangkut nyawa orang lain. Kadang-kadang ada juga pasien yang menolak saya layani untuk pembelian obatnya. Saya tidak menyalahkan. Tiap ke apotek pasien tersebut selalu melihat saya bersih-bersih apotek. Dikira saya petugas kebersiham apotek. Tidak salah kalau kemampuan saya diragukan. Sebaliknya malah ada pasien yang hanya mau saya layani, salah satunya pelanggan loyal, Bu Vivi. Katanya saya telaten. Bu Vivi ini mempunyai seorang putri berkebutuhan khusus yang masih kecil. Jadi orangnya mudah tersinggung kalau tidak diperhatikan kebutuhannya waktu di apotek. Akhir 2005 kami mempunyai pimpinan baru, namanya Bu Reni. Asal Padang. Beliau berwatak keras dan tegas. Kalau memberi perintah seenak hatinya sendiri. Kalau saya menilai kemampuan bekerjanya tidak begitu bagus. Yang dipikirkan hanya laba dan laba. Jika begitu mengapa butuh pimpinan lulusan apoteker. Ambil saja lulusan manajemen atau akuntansi. Tapi tidak bisa, peraturannya sebuah apotek harus dipimpin oleh seorang apoteker. Pernah suatu saat saya dimarahi habis-habisan karena tidak mencuci piring yang habis digunakan makan siang oleh Bu Reni. Tiap pagi minta disiapkan teh hangat. Pernah saya sampai sakit hati sekali. Saat itu bulan Ramadhan, saya masuk shift sore dan sedang sakit. Tapi saya terpaksa masuk kerja karena personel kurang. Agung, kamu sebar brosur ke perumahan-perumahan sekitar, habis itu sisa brosur kamu sebarkan di traffic light. Sekarang. Bu, saya izin nanti saja sebar brosurnya setelah berbuka puasa. Saya sedang sakit. Memang rasa mual, demam, dan pusing jadi satu. Beliau langsung membentak. Saya bilang sekarang harus berangkat. Terpaksa saya berangkat sendiri sebar brosur ke perumahan sekitar apotek. Satu rumah saya beri dua lembar brosur biar cepat habis. Tapi seakan tidak habis-habis. Brosurnya ada dua rim kertas ukuran A4. Ya, itu artinya seribu lembar. Jam setengah lima sore sudah seakan tidak kuat lagi. Daripada saya pingsan di jalan brosur saya masukkan tas kresek. Saya bawa ke masjid, saya tidur sambil menunggu Bu Reni pulang. Jam lima lebih lima belas menit mobilnya amsih ada di depan apotek. Saya harus kembali ke apotek tanpa harus dimarahi karena brosur masih banyak sisanya. Terpaksa saya buang di sungai, biar habis. Kembali ke apotek, saya bilang sudah semua saya sebarkan. Aman sudah.